Apa Itu Living Book..?

Living books atau di Komunitas Charlotte Mason Indonesia dikenal dengan sebutan “pustaka hidup” adalah satu dari 11 karakteristik pendidikan ala Charlotte Mason. Mengenai siapa itu Charlotte Mason, bisa dibaca Wikipedia atau di website Charlotte Mason Indonesia.

Dari SimplyCharlotteMason.com:

Living books are usually written by one person who has a passion for the subject and writes in conversational or narrative style. The books pull you into the subject and involve your emotions, so it’s easy to remember the events and facts. Living books make the subject “come alive.” They can be contrasted to dry writing, like what is found in most encyclopedias or textbooks, which basically lists informational facts in summary form.

Dari Wikipedia:

Probably the best known of Mason’s methods is her use of living books for every subject possible instead of dry, factual textbooks or books that are ‘written down’ to children. Rather than books written by committee, as most textbooks are, living books are usually written by one person with a passion for the topic and a broad command of the language as well as the ability to write in an engaging, literary style while communicating great ideas rather than mere facts. The size of the book is not as important as the content and style-it should be alive and engaging.

Miss Mason did use textbooks when they were the best books she could find to meet the above criterion.
Miss Mason dismissed as ‘twaddle’ materials that are dumbed down and insulting to children.

Ciri-ciri living books di buku Cinta Yang Berpikir: Sebuah Manual Pendidikan Karakter Charlotte Mason:

Di dalam living books ada ide-ide yang berharga, yang menggerakkan anak untuk mengingat, merenungkan, atau memvisualisasikannya. Ide-ide yang masih akan mengeram dalam benak anak, lama setelah ia selesai membaca buku tersebut. Ide-ide yang menggugah, membangun kepribadian anak secara positif, dituturkan dalam bahasa yang indah dan biasanya naratif (berkisah). Jika disertai ilustrasi, maka ilustrasi itu pun dikerjakan secara sungguh-sungguh, berkarakter. (85)

Buku-buku seperti ini selalu ditulis oleh pengarang berdedikasi yang kompeten di bidangnya dan menulis dengan jiwanya—sebagian jiwanya tertinggal di halaman-halaman bukunya. Ia bicara tentang nilai, mempertontonkan suatu sikap moral, namun tidak dengan menggurui. Alih-alih mendikte pemahaman pembaca, ia memberi ruang bagi pembaca untuk membuat penafsiran sendiri. (86)

Apakah living books selalu berbentuk cerita? Buku teks memang seringkali bukan living books. Tetapi pendidikan CM bukan melulu berisi buku-buku cerita. Yang ditekankan Charlotte Mason adalah mutu sastrawi (literacy quality), yaitu cara pengungkapan yang pas dan indah (fit and beautiful expression) dan cara penceritaan yang baik (well put, well told). Charlotte Mason menuntut adanya kriteria ini pada semua buku, baik fiksi dan nonfiksi. (Cinta Yang Berpikir, hal. 87)

Mengapa CM menganggap living books begitu penting? CM mengibaratkan buku-buku berkualitas atau living books itu sebagai gizi untuk pikiran anak. Ide-ide inspiratif seperti pikiran-pikiran besar, peristiwa-peristiwa besar dan perenungan-perenungan besar akan merasuk ke pikiran anak dan mempengaruhi cara berpikirnya. Tujuan akhirnya adalah pembentukan karakter.

Bagi praktisi homeschooling metode CM di Indonesia sendiri, pengadaan living books masih menjadi persoalan, karena masih sulitnya menemukan bahan bacaan atau buku-buku berbahasa Indonesia yang memenuhi kriteria sebuah living books. 

~~~

Bicara tentang living books, saya jadi ingat pernah dengar sebuah ungkapan “ajarkanlah sastra kepada anakmu agar jiwa mereka hidup”, juga peryataan Gus Mus bahwa “bersastra itu sudah menjadi tradisi ulama sejak dulu.”

Dan kalau tidak salah ingat, pernah baca di satu buku tentang pendidikan anak dalam Islam, bahwa syair/sastra adalah salah satu bidang yang ‘harus’ diajarkan pada anak. Buku apa ya.. Kalau sudah ingat dan ketemu sumbernya, akan saya update di sini.

[Update]

Saya menemukan versi lengkap penggalan ungkapan di atas. Ternyata, itu nasihat Umar bin Khattab (semoga Allah senantiasa merahmatinya, I love him, tapi belum menemukan sumber untuk mengenalnya lebih jauh). Ungkapannya seperti ini:

Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu, agar mereka berani melawan ketidakadilan.
Ajarkanlah sastra pada anak-anakmu, agar mereka berani menegakkan kebenaran.
Ajarkanlah sastra pada anak-anakmu, agar jiwa-jiwa mereka hidup.
Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu. Sebab sastra akan mengubah yang pengecut menjadi pemberani.

Umar bin Khattab

Dikaitkan dengan keberanian dan penegakkan kebenaran, mungkin sesuai konteks keadaan bangsa Arab pada masa itu. Kalau Aisyah r.a. menyebutnya secara lebih spesifik, “Ajari anak-anak puisi sejak dini.”

Leave a comment